OLMA ALSA 2009 part 1

on Thursday, October 29, 2009
Saya memulai hari itu dengan rasa malas yang luar biasa besar.
Hari itu saya akan berangkat ke Puncak untuk mengikuti OLMA, dan dampak dari libur lebaran membuat saya enggan untuk mengikuti kegiatan ini--yang sebelumnya sangat saya nantikan.
Hari itu saya menjalani kuliah dengan setengah hati. Barang-barang kebutuhan saya sudah dipak dengan rapi di kamar kos, namun dorongan untuk batal ikut OLMA semakin kuat.
Berbagai alasan sudah saya bayangkan, diantaranya ibu saya tiba-tiba menelepon, menyuruh saya tidak ikut karena sedang hujan, tiba-tiba sakit perut saya kumat, atau tiba-tiba panitia memutuskan untuk batal ke Puncak karena hujan, dan jalanan dianggap berbahaya.
Ditambah lagi banyak teman-teman saya yang mendadak batal ikut oLMA karena berbagai alasan.
Saya merasa ingin meninju muka saya sendiri, karena pikiran saya begitu terbagi dua. Bahkan saya membujuk teman saya untuk memprovokasi saya agar tidak ikut.

Dan akhirnya saya pun ikut.
Pikiran untuk kabur terus membayang, berbagai ide masih saya susun.
Namun komitmen berkata lain. Saya sudah berada di antrian itu, antrian mereka yang menunggu bis ke puncak.
Nama saya sudah diabsen.
Ibu saya tidak bakal menelepon. Kenapa juga dia harus menelepon? Saya ke Korea dan Thailand saja tidak ditelepon.


Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya bis datang. Kami pun perlahan naik ke bis, dalam keadaan hujan dan becek dimana-mana. Setelah masuk bis, saya pun terkejut.

Bisnya tidak punya bagasi.
Baik bagasi di luar, yang biasanya berada di sisi kiri dan kanan bis, maupun bagasi di atas.
Dan lagi...
Bisnya tidak ber-AC.

Saya tertegun. Tiba-tiba saya merasa telah terlalu dimanjakan dengan apa yang diberikan sekolah saya.
Yang harus saya katakan, untuk meminta uang pada orang tua saja saya sampai tidak tega.
Saya menampar diri saya diam-diam. Saya tidak pernah semanja ini.
Naik tronton saja saya mau. Naik trus sambil berdiri, seperti kambing dan sapi, saya mau. Kenapa kali ini saya mengeluh?
Yaah, mungkin karena dorongan-dorongan kemalasan saya membuat semuanya terlihat semakin buruk.

Setelah perjalanan berat penuh hujan, kenyataan baru menghampiri: bisnya bocor.
Hal ini mengajak kita pada kenyataan pahit lainnya: tas saya basah.
Baju-baju saya basah. Jumper Joker kesayangan saya bau air hujan.
Saya cuma bisa diam, dan berusaha mengeringkannya sebisa mungkin. Hanya ketidakberuntungan kecil.


Kami sampai di Puncak sekitar jam 9 malam. Semuanya lelah dan mengantuk.
Oh ya, di tengah jalan tadi saya tiba-tiba merindukan sahabat saya di Belanda, Yessica.
Dorongan yang sangat kuat untuk meng-SMS dia muncul di tengah segala ketidakberuntungan dan ketidakniatan saya itu, namun saya terpaksa harus mengurungkan dorongan itu.
Dia di Belanda.
Dan saya terjebak di sini, dalam situasi yang sungguh tidak nyaman ini, dan handphone saya yang bodoh tidak bisa dipakai untuk ber-SMS dengan dia, walaupun kata teman-teman saya seharusnya bisa.

Kami melewati satu sesi dengan lelah dan persentase fokus yang minim.
Sepatu OR Sanur saya basah, berikut kaos kakinya.
Sepatu saya bau. Kaos kakinya apalagi. Saya buang jauh-jauh kaos kakinya, dan sepatunya saya letakkan dengan manis di depan pintu kamar bersama kami.

Saya tidur cukup nyenyak, walaupun karena pembagian tempat tidur yang tidak sesuai dengan jumlah orang yang ikut menyebabkan saya dan dua teman lainnya harus tidur semalaman tanpa bisa meluruskan kaki.
Cukup untuk setengah hari pertama.

0 comments: