I'm a Sahetapy, I'm an Ambonese

on Monday, September 6, 2010
Majalah TEMPO
Senin, 6 September 2010
Halaman 51

"BANDA, SEBUAH DUKA PARIWISATA"


Baru membaca beberapa paragraf di artikel ini saja sudah membuat gw sedih. Gw menunda membaca kelanjutannya, dan memilih untuk menuangkan beberapa patah paragraf di blog ini dulu.

Banda bukan sekedar nama laut dalam di wilayah Maluku. Banda merupakan kepulauan yang pada jaman kolonial dulu adalah sebuah nama yang sangat terkenal di hampir seantero dunia. Orang Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol berebutan ke pulau ini. Pedagang-pedagang Cina dan Arab pun mungkin tak mau melewatkan daerah ini.

Banda adalah sebuah kepulauan yang sangat kaya akan rempah-rempahnya. Ketenarannya pada masa lalu--sesuai judul artikel--nampaknya telah hilang begitu saja, oleh sebuah konflik agama yang tragis.

Jujur gw nangis membaca artikel itu. Kenapa gw nangis? Pertama karena konflik Ambon itu sendiri, yang dikatakan sebagai penyebab sepinya pariwisata ke pulau ini. Konflik Ambon adalah konflik omong kosong. Banyak orang Ambon yang percaya kalau konflik ini bukan dipicu oleh orang dalam, tapi oleh orang dari luar.

Konflik ini sudah lama berlalu, tapi lukanya tidak akan pernah hilang. Yang lebih membuat gw sedih adalah karena tempat itu sesungguhnya adalah kampung halaman gw.
Tidak banyak yang tahu kalau gw orang Ambon. Mungkin wajah gw tidak menunjukkan itu. Tapi itulah kenyataannya, dan ironisnya, seumur hidup gw baru menginjak Ambon tahun lalu, saat libur kelulusan bersama opa-oma gw.

Setelah tiba di sana, semua ekspektasi gw tentang Ambon langsung hilang. Gw mengira Ambon adalah daerah terpencil yang jelek, yang serba kurang ini itu, dan akan membosankan. Pada kenyataannya tidak.
Kampung halaman gw itu adalah sebuah tempat yang luar biasa indah, dengan lembah-lembah yang masih perawan, pantai-pantai yang tak terhitung banyaknya dan indah-indah, serta penduduk yang sesungguhnya sangat ramah.

Berbeda jauh dengan Jakarta, ataupun Makassar, Ambon adalah kota kecil dimana tidak ada mall sama sekali, hanya ada satu KFC, dan jalanan yang tidak besar. Di Ambon hanya ada sedikit restoran, karena semua orang lebih menikmati masakan di rumahnya sendiri.

Ambon bisa dikelilingin hanya dalam waktu 1-2 hari naik mobil. Setiap saat kita dapat melihat pantai, singgah di pemandian air panas, bermain di laut sampai puas, makan ikan-ikan besar, dll.
Tapi yang lebih membuat gw sayang dengan kampung halaman gw ini adalah, di sini gw menemukan sebuah tempat yang bisa gw katakan sebagai 'kampung halaman'. Tempat dimana gw berasal.

Keluarga gw kecil. Bokap dan gw adalah anak tunggal. Nyokap hanya 2 bersaudara. Oma dari bokap bersaudara 5, tapi sekarang tinggal 2. Opa dari bokap..bisa dibilang misteri, karena nampaknya dia tidak pernah membicarakan keluarganya.
Opa dari nyokap hanya 2 bersaudara, itupun tidak dekat. Yang masih ada di Ambon adalah keluarga almarhum oma dari nyokap. Dia bersaudara 4 orang, dan masing-masing memiliki banyak anak. Mereka semua masih ada di Ambon, dan di sanalah gw tinggal selama 1 minggu itu.

Seumur hidup gw, belum pernah gw rasakan memiliki kerabat keluarga yang banyak, dan menikmati kegiatan berkumpul di rumah untuk makan siang, setelah itu mengobrol dan tertawa bersama-sama. Selama 18 tahun gw terbiasa sendiri, dan pada saat itu gw benar-benar merasakan esensi dari apa yang disebut keluarga.

Ini keluarga gw.
Mereka menerima gw dengan tangan terbuka, dan mereka sangat senang dengan kedatangan gw.
Ini Ambon. Ini tanah darimana gw berasal.
Dan dengan segala keindahannya, gw dengan bangga berkata bahwa inilah kampung halaman gw. Mungkin di sinilah gw ingin menghabiskan hari tua gw.

Gw sedih karena semua orang hanya melihat Ambon sebagai daerah bekas konflik, yang entah sekarang masih terjadi atau tidak. Gw sedih karena orang selalu berorientasi liburan ke luar negeri, padahal mereka bisa menemukan hal-hal yang indah di Ambon. Gw sedih karena orang-orang menganggap Ambon adalah daerah entah berantah yang terbelakang. Dan terlebih lagi setelah membaca artikel tentang Banda ini, gw makin sedih.

I...don't know how to express this. Maybe if any one read this, they'll think that this is just some unimportant information. But I do sad, and I do cry.

Satu hal yang tidak pernah terlupa dari ingatan gw adalah pada hari meninggalnya oma gw tercinta, kakaknya, yang gw panggil Oma Kos, lalu datang mendekati gw, di depan peti mati oma gw.
Matanya yang basah menatap mata gw yang baru saja kering beberapa saat yang lalu.

"Gebi, jangan lupa dengan keluarga dan sodara yang di Ambon, ya. Ingat kalo katorang masih basodara..."

And I said yes, while hardly tried to keep my eyes dry. I think it's a vow, in front of my grandma.



I love you, Ambon.

1 comments:

real_me_real_life said...

wow..mata gw berkaca-kaca ni...